Minggu, Desember 22, 2024
ArticlesWorld Lens

WORLD LITERATURE BUKAN BENTUK KOLONISASI, TAPI DIPLOMASI KEBUDAYAAN SEBUAH NEGARA

Kemenangan Han Kang, penulis perempuan asal Korea Selatan, atas penghargaan Nobel Prize Literature 2024 menjadi kemenangan semua orang di dunia sastra. Khususnya kebanggaan negara-negara di Asia. Han Kang menjadi Asian Women Writer pertama yang berhasil merebut panggung sastra Internasional, bahkan mengalahkan karya-karya sastra Eropa dan Amerika. Tak sedikit dari pihak-pihak individu dan institusi yang terkejut, mengingat betapa bergengsinya ajang penghargaan Nobel Prize selama hampir ratusan tahun, apalagi kategori Sastra, yang telah dimenangkan oleh karya-karya sastra selain dari Asia.

Dalam peristiwa ini, asumsi diluar persoalan penghargaan kemudian berkembang di kalangan para kritikus sastra, bahkan para pegiat sastra mengenai World Literature; Sastra Dunia. Bayang-bayang masa lalu, kajian ‘World Literature’ dianggap muncul dari dampak kolonialisme yang melahirkan kanonisasi sastra global. Wacana ini dianggap ancaman dan mengkerdilkan khazanah kesusastraan. Pada telaah kajian kalimat ‘kolonisasi World Literature’ ternyata tidak pas, seolah-olah metodologi pengetahuannya tidak disertakan secara holistik, sarat akan diskursus. Tak hanya itu, fenomena ini tampak seperti sentimen saja antara kritikus sastra.

Kajian ‘World Literature’ berkembang setelah kegelisahan dari Van Goethe pada 1827 ‘Weltliteratur’, mengenai karya-karya Karl Max misalnya, yang mendapatkan pembaca secara luas di luar darti nasion/ negaranya. Yang justru, Goethe pun menggelisahkan ‘Sastra Canon’ itu sendiri. Kemudian gagasan mengenai ‘Sastra Dunia’ mengalami eksplorasi dari berbagai sastrawan dan pengamat sastra di beberapa negara. Fakta bahwa adanya karya-karya sastra yang dibaca secara masive oleh hampir seluruh pembaca sastra di berbagai negara, menjadi satu bentuk fenomena global yang tidak bisa dibantah. Contoh, karya sastra Pramoedya Ananta Toer yang telah diterjemahkan ke dalam 43 bahasa, menjadi satu fenomena konkrit bahwa nyatanya Sastra Indonesia telah menjadi bagian dari Sastra Dunia. Pertanyaan kontradiktif muncul dari sini, mengapa asumsi atas fenomena ini justru dianggap sebagai ‘bentuk kolonisasi’? Mengapa tidak bisa diistilahkan menjadi ‘Sastra’ saja dalam penyebutannya, mengapa harus ‘Sastra Dunia’? Menjawab pertanyaan ini, harus dengan sederhana dan khidmat. Dengan melepaskan bentuk-bentuk konservatif yang meromantisasi individualisme sebagai kritikus sastra atau bahkan penulis sastra. Kesadaran bahwa khazanah kesusastraan Indonesia masih under europeancentric, harus segera dipecahkan dengan cara International Recognition, menawarkan teori Sastra Indonesia secara organik dan historis.

World Literature sebagai konsep, merupakan respon kontradiktif atas kanonisasi yang telah ada sebelumnya, bukan sebaliknya melahirkan sastra-sastra kanon lainnya. Konseptualisasi ini mengkaji masing-masing karya sastra dari berbagai negara, yang mampu menjangkau pembaca dari negara-negara di luar dari karya sastra tersebut berasal, dengan pendekatan historis dan periodesasi khazanah kesusastraan. Ini menandakan, bahwa karya sastra dari negara tertentu dapat memberi pengaruh atau dampak terhadap bangsa lain. Batasan-batasan mengenai nation dan bahasa, kemudian menjadi luas dalam bentuk universalities. Kembali lagi, sastra membicarakan manusia dan kesemestaan menjadi valid. Misalnya, peristiwa budaya tentang kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di belahan asia juga terjadi di negara-negara pinggiran Eropa. World Literature berperan sebagai sudut pandang universalitas. Bahwa, satu peristiwa yang terjadi di satu negara, memungkinkan untuk terjadi di seluruh negara adalah menjadi bentuk kesimpulan dari premis-premis tersebut. Sastra Dunia, bukan mengkerdilkan khazanah kesusastraan. Namun, menjadi sudut pandang baru untuk mengkaji peradaban secara universal.

Tak hanya itu, Sastra, sebagai interdisiplin ilmu, lebih dari sebuah ekspresi kreatif. Dengan penjelasan yang lebih luas, sastra menjadi solusi untuk mengakomodir realitas zaman. Merekam jejak sebuah peradaban tertentu, khususnya realitas sosial, politik, ekonomi, bahkan wacana lingkungan sebuah negara. Dalam khazanah itu, sudah waktunya disadari secara berani dan mandiri oleh Negara Indonesia, bahwa sastra merupakan alat penting dalam instrumen diplomasi kebudayaan secara Internasional. Menjadi kekuatan untuk posisi Indonesia di kancah Internasional melalui integrasi wacana kebudayaan, sebagai identitas negara Indonesia.

Sastra Indonesia menjadi Soft Power bukan lagi sebuah bayang-bayang diplomatik, karena Sastra Indonesia nyatanya mampu memiliki kekuatan yang tidak memaksakan kehendak. Tetapi mempengaruhi dan membentuk pandangan Internasional terhadap Indonesia, misalnya melalui karya-karya Eka Kurniawan dan Leila S. Chudori yang menggali tentang trauma politik dan identitas dalam sejarah Indonesia. Menjadi satu indikator diplomatis bagaimana kancah Internasional memotret dan menelaah fenomena tersebut melalui karya sastra dengan tema-tema universal dan narasi yang kuat dan estetik tentang Indonesia. Juga Novel-novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, menjadi daya tarik internasional, dengan isu-isu sejarah dan tradisi lokal yang menawarkan perspektif baru dalam Sastra Dunia.

Lalu, apakah kesadaran bahwa Sastra Indonesia adalah bagian dari Sastra Dunia dan sebagai alat diplomasi kebudayaan secara internasional telah memainkan perannya? Belum. Selama pegiat sastra dunia dan kritikus sastra masih kesulitan menemukan referensi atas kajian-kajian Sastra Indonesia secara historis dan konseptual, selama itu Sastra Indonesia belum dapat memerankan dirinya sebagai ‘Sastra Indonesia’ itu sendiri. Karena, Sastra Indonesia bukanlah khazanah kesusastraan yang berbahasa Indonesia saja. Tapi khazanah kesusastraan yang memiliki sejarah, konsep, dan teori Sastra Indonesia, bukan teori sastra Eropa, Jepang, India atau teori-teori sastra lain yang berbahasa Indonesia. Keteguhan ini menjadi penting, karena Sastra Indonesia lahir bukan sekedar sebuah ekspresi keindahan emosi, namun mengalami sejarahnya yang panjang, dan menjadi kekuatan bangsa Indonesia sebagai bagian dari peradaban dunia.

Dukungan penting untuk memaksimalkan peran ini adalah dari para penulis sastra itu sendiri, untuk memiliki kesadaran universal. Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa Internasional. Kemudian peran pemerintah dalam memfasilitasi dan mempromosikan Sastra Indonesia dengan memaksimalkan bentuk-bentuk diplomasi kebudayaan di kancah Internasional. Melibatkan pelaku-pelaku budaya dan sastra dalam partisipasi forum-forum kebudayaan atau sastra internasional. Sinergi ini akan melahirkan Sastra Indonesia sebagai soft power dengan penguatan-penguatan ekosistem sastra nasional.

Tinggalkan Balasan